3. what if
"you don't have to sell your soul to the death"
"so? what if I want to? what if I have to? and what if I need to? I do it for better? huh? anyway, I won't sell it, I'll give it"
pertanyaan. dugaan. perintah.
semua itu selalu kudengar tepat ketika aku menyatakan keinginanku untuk mengakhiri semuanya. memang semua ini terasa dan terdengar klise, klise di mataku, di mata mereka, dan di mata kalian pastinya.
namun hanya satu pertanyaan yang bisa kulontarkan dalam sebuah keputus asaan hidup yang sudah lama terperangkap di dalam sini
"apa yang bisa diharapkan oleh seorang gadis 15 tahun yang hidup tapi seolah tak memiliki hidup. yang bernafas tapi seolah tanpa udara. yang ada tapi dianggap maya?"
jawabannya: tidak ada.
bahkan tak seorangpun yang mengharapkan keberadaanku. aku sungguh-sungguh, itu kenyataannya.
mereka yang berkata padaku untuk mempertahankan hidup hanyalah segelintir orang yang menginginkan aku untuk merasakan sesuatu yang sama perihnya seperti yang sering kuhadapi.
mereka yang memintaku untuk tetap di sini hanyalah segelintir orang yang membuatku terpaksa terpuruk dalam keputus asaan.
mereka yang memerintahku untuk tetap bernafas hanyalah segelintir orang yang mau dan bisa menjebakku untuk mengenyam kelemahan diriku sendiri, yang tak mau dan tak mampu bergerak lagi.
aku putus asa. tak ada yang bisa menyangkal.
"lalu apa ada pilihan lain?"
"do you have any other option?"
"bagaimana kalau aku memilih kematian?"
"what if, I choose the death?"
(tak ada orang yang rela bermain dengan kematian, tapi tidak untuk gadis yang satu ini, ia berdiri di sana, di ambang pintu kematiannya, menanti, bukan menyumpahi dirinya sendiri di hadapan kematian. ia tak paham tentang sesuatu yang disebut hidup,ia tak paham bahwa DIA masih menginginkannya untuk hidup, dan tetap di sana, ia bahkan mengabaikanNya yang secara terang-terangan memberinya kesempatan untuk hidup dan memperbaiki semuanya sebelum ia sungguh-sungguh menyesal atas keputusannya untuk berdiri di sana, saat ini, sekarang, detik ini, di ambang pintu sang kematian yang siap menariknya, kapanpun, di manapun, dan mengatas namakan diri sebuah euphoria, yang mampu memberi kebahagiaan buatnya nanti, setelah akhirnya. ini sebuah kesalahan. tapi apa dia tahu? tidak. dia tak tahu apa-apa tentang benar dan salah, tak sedikitpun)
Kamis, Januari 22, 2009
|
Label:
a story about euphoria after death
|
Search This Blog
press PLAY!
other posts...
want to know something?

- Bernadetha Amanda
- I know English, a little French, and I do speak Ngoko and a few Krama (Javanese language has three kinds of hierarchical language, they're two of them) at home, well, mostly. I'm a big fan of Javanese literature, traditional art, music, theatrical performances, and books but I got this lack of time and chance to do all that stuff... yeah THROW A CONFETTI. (and yeah, feel free to drop some comments... BISOUS :*)
Listed
-
Kind.7 tahun yang lalu
-
mencipta bahagia7 tahun yang lalu
-
-
-
Hey, this IS the 'next' post12 tahun yang lalu
-
-
-
swingin life14 tahun yang lalu
-
-
-
-
-
0 komentar:
Posting Komentar