6. demi sesuatu yang kusebut kebahagiaan

waktu itu. aku terpuruk dalam keanggunan langit mendung, aku termangu dalam alunan angin padang senja, terperanjat dalam kegelapan, yang selama ini tak pernah bisa kusentuh.
direngkuh jiwa-jiwa mati yang pernah ada di dunia.
lebih dari yang kalian tahu, aku sedang merenggang nyawaku dalam tembang lirih sang maut.
jadi di sinilah aku. berdiri ringkih di tepi tebing terjal. tepat mengahadap ke lautan berbuih putih. kupejamkan mata dan menyerahkan tubuhku pada sang bayu.
pasrah pada nasib.
rangkaian sistem otakku mulai terjurai entah ke mana. aku terdiam lagi.
kutatap langit jingga sore itu, seolah meminta persetujuan khayangan, persetujuan akan petisi maut yang telah kutanda tangani sekian lamanya, menanti untuk kupenuhi.
aku tentu tak meninggalkan nyawaku begtu saja pada kematian, harus ada timbal balik. dan aku mendapat timbal balik yang setimpal. kebahagiaan. setelah kematian.
sudah cukup jelas bukan, bahwa aku mendambakan kebahagiaan di tengah keputus asaan ini. manusia mana yang mau menderita sepanjang hidupnya? kalaupun ada, manusia itu bukan aku.

kulihat ombak menggerus bibir karang, tepat di depan mataku. dan di bawah sana, di bawah karang terjal ini... dalam waktu kurang dari semenit, tubuhku akan tergeletak bahagia, dan jiwaku berjalan tenang di dalam alam sunyi kematian.

kuhempaskan tubuhku dari bibir tebing. tak ada hal yang lebih menyenangkan dari merasakan serpihan kerikil tajam merobek telapak kakimu, setidaknya hal itu terlampau menyenangkan.
aku sudah terbiasa bergelut dengan rasa sakit, rasa sakit adalah bagian dari kebahagiaan ragaku.
aku merasakan wajahku disentuh sang bayu. bisa kurasakan deburan ombak sedikit demi sedikit menjamah permukaan kulitku. dan aku memejamkan mataku, tersenyum meratapi kebahagiaan ini, tertawa pada nasib yang mengikatku dalam permainan maya roda hidupku yang tak pernah berputar dan terhenti di atas.

aku bersiap menghadapi nasibku yang dalam sepersekian detik akan segera kuakhiri dengan bangganya.
aku bergegas mengetuk pintu maut yang sudah siap terbuka kapanpun aku mau.
aku meraba ruam-ruam hidupku, yang meranggas dimakan rasa sakit.
dalam sesaat aku bisa membayangkan tubuhku terombang ambing di atas ombak yang merah oleh darahku.
dan aku bersatu lagi dengan maut, demi sesuatu yang kusebut kebahagiaan.

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Search This Blog

press PLAY!

other posts...

want to know something?

Foto Saya
Bernadetha Amanda
I know English, a little French, and I do speak Ngoko and a few Krama (Javanese language has three kinds of hierarchical language, they're two of them) at home, well, mostly. I'm a big fan of Javanese literature, traditional art, music, theatrical performances, and books but I got this lack of time and chance to do all that stuff... yeah THROW A CONFETTI. (and yeah, feel free to drop some comments... BISOUS :*)
Lihat profil lengkapku

now, count!

free hit counter

followers

Pages