Langit membuka buku itu perlahan. membiru wajah itu dibuatnya. sambil menanti luka di dada itu mengering, ia memilih satu puisi yang menuntut Timur untuk diam dan menikmati saja senja ini perlahan dalam ketenangan yang sempurna, hanya berdua dengannya. "saya bacakan satu puisi, tenanglah, jangan banyak bicara. lukamu masih basah"
"elegi waktu diburai perlahan. lelahmu terbangun di tengah reruntuh gelap. tidakkah kau terlalu lelah dipermainkan?" langit membentu posisinya sesempurna mungkin. dengan buku itu di atas pahanya ia mulai bicara, setelah satu hela nafas penutup ia bungkam. Timur bungkam. udara bungkam. sunyi merayap bersama bola jingga raksasa yang merangsek turun ke bawah cakrawala sana. entah kemana larinya ia dari kenyataan. lalu Timur membuka bibirnya. perkataan yang meluncur dengan suara datar dan pilu, meminta langit untuk runtuh. Langit mengerjapkan matanya, menahan nafasnya untuk tidak bicara lagi. ditatapnya mata pria yang terkapar pasrah dihadapannya.
"ya, aku lelah. mari hentikan permainan ini. puisi ini memuakkan, bunuh saja aku sekarang, hidupku tidak bisa lebih hambar lagi. tolong, jangan persulit aku. tarik pelatuknya dan biarkan itu menjadi letupan terakhir yang aku dengar" pria macam Timur yang hidupnya sudah malang melintang di antara desingan peluru dan dentuman peledak ini seolah ditertawakan oleh kematian secara sepihak. ia menyerah dengan tenang dan dalam helaan nafas singkat, meminta hidupnya diakhiri oleh gadis yang masih setengah tidak percaya bahwa di hadapannya sekarang terbaring seorang maniak kekerasan, penggila senjata api, penghuni gudang gelap tempat mafia paling ditakuti sejak belasan tahun terakhir biasa mangkal. entah apa yang dilakukan seorang suster tahap awal di hadaan pria macam ini. "jangan diam," ia berujar lagi
"tekanan darahmu naik. lukamu basah lagi. sudah saya bilang jangan banyak bicara. tahan emosimu" Langit mengambil perban dan menekannya perlahan pada luka di dada Timur. "saya tidak paham pria macam apa yang ada di hadapan saya sekarang. untuk apa saya ada di hadapan kamu kalau untuk dituduh sebagai pembunuh. saya tidak ada niatan untuk membunuh kamu"
"lalu berapa lama kau mau bertahan? sampai aku sembuh?" Timur menahan kata-katanya, ia menggertakkan giginya, menahan sakit yang membelesak di dadanya, meruntuhkan egoisme yang lebih ebsar di dalam sana "kau bisa mati, bahkan lebih dulu dari aku. kau yang terlalu bodoh atau aku yang terlalu licik, hah? brengsek"
"saya hanya menghargai hidup kamu. itu saja. jangan anggap ini terlalu berat. saya yakin, kamu belum mau mati"
"brengsek."
"silakan umpat saya sesuka hati... kalau itu bisa membantu kamu membunuh diri sendiri lebih cepat. saya tidak bisa menghalangi. asal kamu tahu, kematian lbih sakit daripada luka kecil di dada kamu ini" langit menunjuk luka besar dan menganga penuh darah di dada Timur "ini bukan metafora untuk membuat kamu takut. saya sendiri tidak paham kenapa kamu mau mati. belum lagi urusan kamu yang akan masuk neraka"
"maumu apa sekarang? menyumpahi aku, hah?"
"tidak, saya tidak menyumpahi. hanya memperingatkan saja. kamu belum bertobat. masih nekad mati?"
"oh, aku paham. konversi kepercayaan. maaf aku tidak percaya pada apapun atau siapapun. juga pada surga dan neraka. duniaku sekarang adalah neraka buatmu, semantara ini masih surga buatku" Timur mencibir Langit yang begitu tenang duduk kembali di bangku kayunya
"baiklah kalau begitu, hidupi dulu saja surgamu, jangan minta dipindah ke neraka... saya tahu ini konyol, tidak penting. tapi pikirkan saja dulu... pastikan kamu yakin betul ini keputusan yang tepat" Langit menghela nafas dan mencuci tangannya di air kemerahan di sisi kepala Timur "pistolmu itu masih ada di laci, jika kamu mau dan siap, tarik saja pelatuknya, tapi peringatkan saya untuk menyelamatkan diri terlebih dahulu, saya belum mau dipenjara"
0 komentar:
Posting Komentar