saya sudah lelah bicara rasa. membicarakan sesuatu yang tidak tahu dimana pangkal dan ujungnya. yang lebih rumit dari sekadar cabang pohon willow, atau akar pohon beringin yang menjuntai jatuh.
seandainya rasa bisa diurai lebih cepat, lebih mudah, seperti mengurai bekas lipatan kertas origami.
katanya...
retorika yang dihentikan, bukan lagi retorika.
awal tanpa akhir, sama sekali bukan awal.
bernapas tanpa udara, sama sekali bukan bernapas.
berteriak tanpa suara, sama sekali bukan berteriak.
manusia tanpa rasa, sama sekali bukan manusia, begitukah?
kalau saya mencoba lari menghindar dari rasa yang membuat saya sesak, adakah letak salahnya?
saya ingin tahu,
dimana lagi letak kesalahan saya?
selain karena melihat langit jingga di ujung jalan yang mengharu biru,
seperti jingga yang saya sentuh pertama kalinya waktu itu,
ketika kamu berkata halo,
saya tidak menyesal kenapa semua sudah selesai,
saya hanya menyesal kenapa kamu harus memulainya lagi.
dan kenapa kamu harus berhenti sebelum saya tahu bahwa kamu yang menuliskannya?
tidakkah begitu jelas... saya ingin kamu kembali.
kembali lagi, sampai pukul satu pagi.
"kamu belum tidur?
apa kabar ujian perancis kamu?"
iya saya tidak bisa tidur, padahal sudah pukul satu pagi
tololnya kamu masih mau menemani saya bicara,
hal-hal yang tidak penting,
seperti kenapa paduan suara harus berlatih di malam hari,
dan kenapa kamu masih terjaga selarut ini?
"kamu..."
ya, klise, tapi terimakasih.
bukannya saya berusaha menjadi melankolis
tidak. saya berusaha jujur. saya tidak pernah sejujur ini.
dan langit masih sejingga ini, saya tidak mengerti kenapa
kenapa harus sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar